Kamis, 26 September 2013

Suatu Senja di Alun-alun Kota


                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                Saat itu atas kesepakatan bersama, komunitas kepenulisan dimana aku bernaung, kompak mengadakan pertemuan rutin setiap kamis sore di alun-alun kota. Berhubung aku yang datang lebih dahulu, aku berhak memilih tempat sesuai keinginan. Entah mengapa, tiba-tiba saja terlintas di benak betapa serunya berdiskusi tentang cerpen, puisi, esai, dan lainnya dengan suguhan bajigur atau jahe susu spesial.
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                “ Assalamualaikum” ucapku sebelum memasuki kedai sederhana, menghadap air mancur di tengah alun-alun. Kedai-kedai sederhana tersebut bermunculan ketika sore mulai menampakan diri
                “Walaikum salam” jawabmu, sambil meletakan buku yang tengah kau baca
                “Jahe susunya sudah ada mas?” tanyaku kemudian
                “Ada, monggo pinarak Mba” jawabmu santun
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraan demi mendapati buku-buku karya penulis yang aku idolakan ada di meja kecil, tempat pengunjung menikmati  jahe susu atau bajigur.
                “Wow... panjenengan pembaca  karya-karya HTR  ya” kataku dengan mata yang mungkin berkaca-kaca mendapati buku berjudul Bukavu, Ketika Mas Gagah Pergi dan Lelaki Kabut dan Boneka
                “Iya mbak. Menurut saya, karya-karya HTR tidak hanya bagus tetapi juga menggerakan pembaca untuk segera berbuat baik. Adik saya yang sekarang kelas tiga SMA malah mengenakan jilbab setelah baca Ketika Mas Gagah Pergi. Mba suka karya HTR juga to?” tanyamu kemudian. Aku menjawab dengan anggukan kepala.
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                Mata Ketiga Cinta karya HTR yang berisi puisi-puisi terbaik sastrawati kelahiran Medan tersebut menenggelamkan kami dalam obrolan hangat dan panjang.  Aku yang seharusnya senang saat tiba-tiba Tia, Eri, Sinta, Nening datang, mendadak merutuki dalam hati kedatangan mereka berempat
                Setelah menghantarkan jahe susu untuk Tia dan lain-lain, kamu kembali tenggelam dengan buku yang tengah kau baca. Dalam intaianku, tak lupa kau menandai halaman yang tengah kau baca dengan melipat kertas sebelum akhirnya melayani pembeli yang mulai berdatangan ke kedaimu
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                Aku pikir setelah hampir menginjak usia tiga puluh, pada bulan lalu ini rasanya seorang Kirana tak akan terserang virus merah jambu. Virus yang seharusnya datang saat usia belasan.  Tapi bukankah cinta itu anugerah? Mungkin baru sekarang anugerah itu datang
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                “Mas Danu, saya sedang menulis cerpen. Biar lebih nendang, boleh nggak bertanya pada panjenengan , ya itung-itung riset kecil-kecilan lah” tanyaku, masih di suatu senja di hari yang berbeda
                “Boleh, Mba Rana mau tanya apa?”jawabmu. Angin sore sejuk menyapa.
                “Menurut Mas Danu, aneh tidak kalau ada pasangan, tetapi usia perempuannya jauh lebih matang”tanyaku hati-hati, takut terlihat mengada-ada
                “Oalah.. itu toh pertanyaannya? Mba Rana pasti tahu dong usia Rasulallah dan Siti Khadijah saat menikah”
                “25 usia kanjeng nabi dan 40 usia Khadijah”
                “Nah itu Mba tahu. Mereka harmonis kan?” tanyamu, aku menganggukan kepala
                “Yang pentingkan kedua pihak tahu persis perannya sebagai suami isteri”
                “Begitu to Mas”
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                Cintaku untukmu makin meninggi, menggunung saat kau bertutur suatu hari, kau rela meninggalkan bangku kuliah demi membiayai sekolah Fatimah dan Sekar Adikmu setelah ayah kalian tutup usia. Bagiku kau tak sekedar berwajah indah, pasti beruntung gadis yang kelak menjadi permaisurimu
                “Mas Danu boleh nanya lagi nggak?” tanyaku di kesempatan lain
                “Pasti untuk kepentingan cerita ya Mba:
                “Yah begitulah” kataku tak jujur
                “Mau nanya apalagi Mba Rana”
                “Etis nggak sih, kalau perempuan lebih dahulu menyatakan perasaannya terhadap seseorang” tanyaku dengan intonasi setenang mungkin. Sebelum menjawab, kulihat senyummu terkembang
                “Sependek pengetahuan saya, selain Khadijah, putri rasulullah Fatimah juga lebih dahulu  mengungkapkan keinginannya menikah dengan Ali bin Abi Thalib
                “Jadi sah-sah saja ya kalau perempuan nembak duluan, maksud saya meminta dinikahi seorang laki-laki”tanyaku memastikan.Kau menjawab dengan anggukan kepala berkali-kali
                “Mba Rana, kalau cerpen atau novelnya jadi, boleh dong ikut baca” katamu sebelum aku menyetater matic , dan menjauh dari kedaimu
                “Sip Mas. Assalamualaikum”kataku setengah berteriak
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                Setelah berhari-hari berlatih di depan cermin, aku membulatkan tekad agar hari ini, senja ini, engkau tahu bahwa namamu telah menempati bilik paling istimewa di hati. Bilik yang selama ini terbiar kosong. Harapku kau menyambut perasaanku dengan rasa yang serupa. Inginku beberapa bulan setelah hari ini, kita menjadi raja dan ratu sehari. Harapku...
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja
                Tapi harapanku hancur berkeping di bentur godam yang maha besar. Sesampainya di kedaimu, kau tengah duduk rapat dengan perempuan cantik yang kemudian kau kenalkan padaku sebagai isterimu.
                “Dek ini lho, Mbak Kirana yang sering Abang ceritakan. Yang suka nulis, yang suka buku-buku HTR, yang wajahnya mirip sekali dengan mendiang Fatimah” katamu, diikuti uluran tangan dari Cempaka.
                “Tahu nggak Mba Rana, Cempaka ini, kemarin menangis terharu saat hari lahirnya Saya hadiahi puisi yang tak kutip dari buku Mata Ketiga Cinta”lanjutmu
                Suatu senja di alun-alun kota, tiba-tiba jantungku berdebar saat matamu, mataku, mata kita bersitatap secara tak sengaja. Ternyata kau menatapku  karena cinta seorang kakak pada adiknya yang telah tiada
                Sekuat tenaga ku tahan agar bulir-bulir kristal tak luruh, jatuh di depan kalian. Setelah berpamitan, dan melaju bersama matic kesayangan barulah tangisku benar-benar pecah

Keteterangan, HTR akronim dari Helvy Tiana Rosa, Sastrawati angkatan 2000 pendiri komunitas kepenulisan bernama Forum Lingkar  Pena







Rabu, 25 September 2013

Tak Cukup Hanya Pintar


             “Tumbas..” seru Fitri di depan warung Om Tono
             “Beli apa Fit?” tanya Om Tono sambil meletakan buku yang sedang dibacanya di atas etalase
             “Brownis satunya berapa Om”
             “Satu potong seribu Fit”
             “Beli dua deh” Fitri menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan
             “Nggak berangkat sekolah Fit” tanya Om Tono, ramah. Fitri menjawab dengan anggukan kepala
             “ Kenapa nggak berangkat? Setahu Om beberapa hari yang lalu kamu juga nggak ke sekolah. Nanti nggak rengking satu lagi loh Fit” kata Om Tono lagi. TanganOm Tono yang kokoh menghitung uang untuk kembalian.
             “Nggak bakalan deh Om. Soalnya, nilai- nilai Fitri  saat UTS kemarin selalu tertinggi” jawab Fitri tanpa bermaksud sombong
             “Buat surat ijin nggak untuk Bu Heni”tanya Om Tono. Fitri menggelengkan kepala.
             “Waktu senin kemarin nggak masuk sekolah, nggak bikin surat ijin juga?” cecar Om Tono. Lagi-lagi Fitri menggelengkan kepala.
             “Eh..Om kok nanya-nya macam- macam kayak wartawan,uang kembaliannya mana?” ujar Fitri sedikit kesal. Om Tono menyerahkan empat lembar uang dua ribuan dengan tersenyum.
             Meski semenjak dua tahun lalu menjadi yatim dan ibunya sibuk berangkat kerja pagi-pagi sekali sehingga tak begitu memperhatikan anak semata wayangnya.  Fitri tumbuh menjadi anak yang pintar. Dari kelas satu hingga kelas empat  Fitri selalu rengking pertama. Mulanya Fitri anak yang rajin dan jarang sekali bolos sekolah. Kalaupun terpaksa bolos, biasanya kalau sedang demam tinggi. Maklum dari kelas satu sampai  kelas empat,  guru- gurunya terlihat galak sehingga Fitri segan. Berbeda dengan Bu Heni wali kelasnya sekarang. Selain cantik, Bu Heni yang berkerudung itu selalu terlihat lembut dan tak bisa marah. Mungkin karena nilai- nilai Fitri bagus, Bu Heni diam saja ketika dirinya bolos sekolah beberapa hari yang lalu.
                             Fitri sangat senang karena nilai  ujian kenaikan kelas semuanya memuaskan. Sebagian menduduki nilai tertinggi sebagian lagi berada di bawah posisi Nesa. Fitri tambah yakin posisinya sebagai bintang kelas tak bisa digusur oleh siapapun, termasuk Nesa.
             Seminggu setelah UAS, tibalah saat- saat mendebarkan. Saat menerima buku raport.
             Semua wajah penghuni kelas lima SD Budi Pekerti terlihat tegang begitu Bu Heni muncul di kelas.
             Setelah berdoa bersama, Bu Heni berujar “ Selamat pagi anak- anak”
             “Pagi Bu..”

             “Anak- anak semua, Ibu sangat senang sekali. Nilai- nilai kalian mengalami banyak kemajuan dibanding saat kelas empat. Almamdulillah.  Oke, sebelum rapor Ibu bagikan, terlebih dahulu Ibu bacakan peringkat satu sampai peringkat tiga
             Suasana kelas hening sejenak.Sinar hangat disertai angin menerobos dari pintu dan jendela kelas yang sengaja dibuka.
            
             “Anak- anakku,  peringkat satu sampai tiga kelas ini, nama- namanya persis saat kalian kelas empat. Hanya saja susunannya  yang berubah” lanjut Bu Heni lagi.
             Jantung Fitri berdetak lebih kencang. Karena dicekam rasa penasaran. Fitri tertunduk lesu begitu mengetahui peringkat pertama kali ini diraih oleh Nesa.
             “Sebenarnya, nilai rata- rata Fitri dan Nesa sama persis. Hanya saja karena Fitri pernah tak masuk sekolah tanpa memberi keterangan, maka peringkat satu untuk kelas ini, Ibu berikan kepada Nesa. Ibu mau kalian tak hanya pintar, tetapi belajar berdisiplin dan menaati peraturan.
             Meski sedih tak menjadi bintang kelas, Fitri tak lupa menyalami dan memberi Nesa ucapan selamat. Di kelas enam nanti, Fitri berjanji tak akan bolos lagi, kalau tak masuk sekolah akan membuat surat ijin.


NB. Dimuat di Radar Bojonegoro, minggu 15 Sept 2013. emailnya kenalyan@yahoo.co.id 
Kalau cerpen dimuat, fee-nya berupa kaos yang keren pake banget.
               


                

Minggu, 15 September 2013

Dimuat di tabloid Seputar Tegal

Puisi-puisi Sutono Adiwerna

Sajak Buruh Pabrik Teh 

Subuh belum menampakan diri
Ku ayun langkah
Mengusir dingin
Menghalau kantuk
Untuk suami untuk anakku

Meski tubuh ini kan  remuk
Begelut dengan daun teh
Bertempur dengan lem perekat, dengan kertas pembungkus
Melawan keringat demi keringat
Yang tak lagi wangi

Subuh belum datang menjelang
Ku ayun langkah
Mengusir dingin
Demi tak kudengar lagi si buyung
Sepatunya minta diganti karena bolong
Padahal lelakiku hanya pengayuh becak

Subuh belum memunculkan sosoknya
Kuseret kakiku
Melawan resah
Apakah rezkiku berkah
Setiap subuh kutak menghadap-Nya
Setiap dhuhur kutak menemui-Nya
Ah....kapan aku bisa
Selalu datang
Ketika kudengar seruan-Nya

    Rumah Cinta

Ini  rumah kita, cinta
Tempat menabur  ide
 Merangkai  kata
Menggelorakan cerita

Ini  rumah kita, cinta
Kadang  sepi  menjelma
Tak  jarang riuh menyapa
Datang  pergi itu biasa




Ini  rumah kita, cinta
Cahyanya kadang redup
Kadang benderang

Semoga tak lekas padam

Sabtu, 14 September 2013

Bukan Review, Tetap Saja Kusebut Dia Cinta

Bukan Review, Tetap Saja Kusebut ( Dia ) Cinta
Judul  Buku : Tetap saja kusebut (dia ) cinta
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Qanita, Mizan, 2013-09-15
Harga Buku : 69.000
                Prolog
                Tahun 2006-an saat saya mulai belajar menulis di FLP Tegal, buku yang pertama saya beli di toko buku adalah novel berjudul Wandu, berhentilah jadi pengecut. Karena terkesan, saya pun meminjamkan novel tersebut  kepada dua motivator menulis saya di Flp Tegal yakni mba Sinta Yudisia ( ketua Flp Tegal kala itu )  dan Gilang Satria Perdana ( meski masih SMP, cerpen dan tulisannya telah menghiasi koran Radar Tegal dan majalah Kandela ). Kami bertiga kompak menyukai detail Tasaro dalam menciptakan karakter, alur dan setting. Lucunya kami juga tak suka ending novel pemenang lomba tingkat nasional yang diselenggarakan Flp Pusat ini, karena endingnya terlalu mengambang.
                Setelah Wandu, buku Tasaro lain yang mempunya kesan mendalam bagi saya adalah, buku diary pernikahannya yang berjudul Ilove you honey, ini wajah cintaku. Membaca buku ini, membuat semangat menulis saya yang hampir padam menyala kembali. Maklum di buku ini Tasaro menulis juga proses kreatif dia saat menulis novel pertamanya, Wandu.  Ternyata novel Wandu di ketik pakai komputer kantor, terkadang di rental komputer, tak jarang juga ditulis terlebih dahulu di sembarang kertas.
                Dan bagi saya pribadi, master piece penulis novel Muhamad, Nibiru dan Sewindu  tak lain dan tak bukan Galaksi Kinanthi. Mungkin karena Tasaro berhasil membangun seting akhir  tahun 80-an ( Sandiwara Saur Sepuh, Radio Transistor, berburu kepiting/yu-yu, mencari ubur-ubur ).  Mungkin juga karena keberhasilan Tasaro dalam menjaga alur dan konflik dari awal hingga akhir ( meski saya tak begitu suka juga dengan endingnya )
Bukan Review
            Namanya juga bukan review, maka baru kali ini saya mengulas sedikit tentang buku TSKDC. Buku terbitan Qanita, Mizan ini berisi 9 tulisan yang menurut saya beruntung bisa karena membacanya . Ada Puisi dan Kagem Ibuk yang berhasil membuat mata saya memanas, berkaca-kaca. Puisi, mengisahkan tentang Aryati yang memendam cintanya selama 50 tahun. Kagem Ibuk, mengisahakan ketegaran, kebersahajaan, kekuatan Ibunda sang penulis. Sebenarnya tulisan ini, pernah saya baca di antologi Tribute to Mom. Tapi di TSKDC ditulis ulang dengan lebih indah, sempurna. Bedanya lagi, kalau di tribute to mom, si ibuk masih ada, di TSKDC si ibuk telah tiada.
                Berikutnya tulisan bertajuk Atarih. Meski tak tersurat, saya tahu persis siapa Atarih yang yang dimaksud dalam buku ini. Saat nama Atarih mengemuka, dihujat karena bersiteru dengan seorang blogger, justeru Tasaro tengah bersama Atarih, mengisi pelatihan kepenulisan ke pelajar di Singapura. Membaca tulisan ini, saya mendapat nasihat , motivasi untuk terus belajar, berkembang.
                Ada banyak kisah bagus lainnya. Sayangnya, Tasaro menyertakan tulisan berjudul Bukan Malaikat Rehat. Di tulisan ini, menurut saya nggak Tasaro banget, karena betaburan istilah seperti akhi, antum, tarbiyah, ukhti, liqa dll. Its Ok lah kalau yang menulis penuls lain. Kalau Tasaro? Saya tebak mungkin tulisan ini dibuat saat buku kumcer dan novel semacam ini i laris seperti kacang goreng.
                Tuhan Nggak Pernah Iseng, saya tahu persis ini ditulis ulang dari novel Wandu,  ada juga tulisan berjudul Galeri dan Tetap Saja Kusebut dia Cinta yang membuat mata saya memanas, terharu.
                Membaca buku ini saya memetik pelajaran, siapa bilang kumpulan cerita tak dilirik penerbit mayor? Asal kita sudah punya brand dan tentu saja bisa menulis dengan bagus dan baik,  tidak ada yang tidak mungkin. Maka menulislah, tak ada sia-sia dengan apa kita tulis hari ini.
                Nilai plus lain buku ini, kertasnya luks, berwarna, dihiasi lukisan-lukisan karya Dedha Gora Hadiwidjaya. Selamat Membaca.
NB, tak sengaja membuka buku Keiklasan Cinta Diana, ( Diana Roswita Dkk ) ternyata Tasaro milad bulan september. Ini Sekalian hadiah kecil, meski terlambat, semoga berkenan )

Senin, 09 September 2013

Bahagia Karena Memberi



Laras berlari kecil. Bibir mungilnya bersenandung, sementara tangan kanannya memegang erat uang di saku, agar uang  tersebu tak terjatuh. Rambutnya yang hitam, lurus, sebahu dikucir dua, bergoyang-goyang ke atas, ke bawah seperti burung merpati sedang mematuk biji- bijian.
          Pagi ini , Seharusnya Laras akan ke toko buku yang ada di komplek  Ruko Slawi Indah bersama bundanya. Tetapi batal karena lima belas menit sebelum berangkat, bundanya yang bekerja sebagai bidan desa harus membantu persalinan Bu Ratna. Mau tak mau Laras sendirian menuju toko buku yang letaknya tak jauh dari rumah dan bisa ditempuh selama 15 menit dengan berjalan kaki.
Lari kecil Laras terhenti ketika mendapati seorang anak kecil, terdunduk lesu di pojokan sebuah toko kelontong. Matanya sembab karena habis menangis.
   Laras sebenarnya malas menghampiri. Selain takut keburu siang, anak kecil yang habis menangis adalah adik Santo teman sekelasnya. Laras tak suka dengan Santo, karena semester ini peringkat satu di kelas jatuh kepada anak penjual kue basah di depan kantin sekolah padahal sejak kelas satu hingga sekarang kelas lima tak ada bisa merebut posisinya sebagai bintang kelas. Ohya Santo dan Sinta adalah murid baru di sekolah Laras.
"Sinta kenapa? Kok nangis?" tegur Laras kemudian.
"Kak Laras?"ujar Sinta dengan nada memastikan. Laras menganggukan kepala berkali- kali
"Ada apa Sin" tanya Laras lagi
"Engg..Anu kak, tadi Sinta di suruh Ibu beli beras sekilo. Tapi berhubung warung Bu Ratna tutup, Sinta langsung kesini. Tapi...begitu mau membayar beras yang sudah dibungkuskan, uang Sinta ternyata enggak ada. Uang Sinta hilang Kak" tangis Sinta kembali pecah. Laras mengelus- elus pundak Sinta agar tangisnya mereda.
"Sinta sudah usaha mencari?"
"Sudah Kak. Sinta sudah bolak- balik, tapi uangnya enggak ketemu juga"
Setelah berpikir, berhitung Laras berkata "Kebetulah Kakak punya uang lebih, sepuluh ribu rupiah, pakailah. Jangan nangis lagi ya"bujuk Laras
"Terimakasih Kak" ucap Sinta dengan mata berkaca- kaca
          Toko Media Imu nampak ramai. Area parkir yang letaknya persis di halaman toko, di padati oleh motor dan sepeda para pengunjung. Setelah berbasa- basi dengan pramuniaga, Laras bergegas menuju lantai dua tempat dimana buku, novel, dan majalah khusus untuk anak di pajang. Mata gadis kecil yang duduk di kelas lima SD itu menyapu segala sudut ruangan lantai dua dan berharap buku cerita yang minggu kemarin ia baca resensinya di majalah anak- anak itu ada.
"Yes" seru Laras begitu melihat buku berjudul Gadis Korek Api dengan sampul berwarna cokelat terpajang indah di rak bertuliskan Bestseller. Tentu saja hal ini membuat Laras menjadi pusat perhatian pengunjung lain yang sebagian besar seumuran dengannya.
Setelah mengambil buku karangan HC Andersen itu, Laras dengan riang menuju meja kasir.
"Berapa saya harus bayar Mba" tanya Laras.
"Empat puluh ribu, lima ratus Dek" jawab pramuniaga
Laras merogoh saku bajunya. Betapa terkejutnya Laras karena yang tersisa di kantong bajunya justeru uang sepuluh ribuan. Rupanya Laras salah kasih. Uang yang seharusnya untuk membeli buku telah ia berikan ke Sinta.
"Mba, saya minta maaf. Karena terburu- buru, saya lupa membawa uang. Kalau besok saya kesini lagi bagaimana mba? Soalnya saya pengin sekali punya buku Gadis Korek Api" ujar Laras tak enak hati.
 “Iya Dek. Insyaallah” jawab Pramuniaga. Untungnya pramuniaga sudah mengenal wajah Laras sehingga tidak marah meski dirinya tak jadi membeli.
Dengan langkah tergesa Laras meninggalkan toko buku. Ketika sampai di toko kelontong, langkah Laras di hentikan oleh panggilan anak kecil. Rupanya Sinta bersama kakaknya Santo sudah menunggunya."Mungkin mereka hendak mengembalikan uang" kata Laras dalam hati
"Kak Laras makasih atas kebaikannya ya. Karena berkat Kakak,  kami bisa beli beras dan obat demam buat ibu. Bahkan lebihnya bisa buat beli buku tulis Kak Santo yang kebetulan habis. Ya kan Kak?" ujar Sinta
Ternyata Bu Rahmi sedang sakit, pantas saja beberapa hari terakhir tak berjualan, padahal aku lagi suka sekali kue pisang molen buatan ibunya Santo ini. Ujar laras dalam hati
"Makasih ya Ras. Semoga Allah membalas kebaikanmu hari ini pada kami" Ujar Santo tulus
“Amiin.” Jawab Laras. Mendengar uang tersebut sudah terpakai,  Laras sejujurnya kecewa tapi demi melihat  kedua kakak adik itu terlihat bahagia dan berbinar-binar, kekecewaaan itu menguap entah kemana. Laras  mengurungkan niatnya meminta kembali uang pemberiannya. Dalam hati, Laras membenarkan kata- kata bundanya, sebelum dirinya menuju toko buku “Menerima itu, menyenangkan tetapi memberi lebih membahagiakan. Sabda Rasulullah Muhamad Saw, Tangan di atas Lebih Baik Daripada Tangan di Bawah


Anak Suamiku

Anak Suamiku : KBMAPP | sutono_adiwerna